Minggu, 19 Januari 2025

Upacara Padusan

 




   Upacara Padusan berasal dari kebiasaan Walisongo yang menyatukan budaya Hindu dengan budaya Islam. Padusan berasal dari kata adus, bahasa Jawa yang berarti mandi.


   Masyarakat biasa melakukan upacara ini ketika bulan Ramadhan tiba, bertujuan untuk membersihkan diri lahir dan batin, sehingga mereka dapat memasuki bulan Ramadhan dalam keadaan suci dan bersih.


   Tradisi Padusan dilakukan beramai-ramai di satu mata air, karena itu mereka biasa berkumpul di tempat-tempat wisata pemandian. Tidak hanya di Jawa Tengah, tradisi ini juga dapat ditemukan di Daerah Istimewa Yogyakarta.


   Makna Padusan adalah membersihkan segala kotoran, baik yang menempel di badan ataupun pada jiwa. Alhasil, dengannya, maka seorang insan dapat menjalankan ibadah puasa dengan jiwa dan raga yang suci.


   Selain itu, Padusan juga dapat dimaknai sebagai hubungan simbolis orang Jawa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Padusan juga melambangkan hubungan dengan para leluhur maupun sesama masyarakat.






Sumber:

traveloka.com

detik.com 

Upacara Ruwatan

    


  Ada sebuah upacara yang dipercaya masyarakat Jawa Tengah dapat menangkal dan membuang kesialan. Upacara tersebut dikenal dengan Upacara Ruwatan, bahasa Jawa dari “dibebaskan” atau “dilepaskan”. Masyarakat percaya bahwa Upacara Ruwatan ini dapat melepaskan seseorang dari hukuman, atau bahkan kutukan, yang akan merugikan dirinya dan mendekatkannya pada bahaya.  


   Asal-usul Ruwatan adalah dari kisah pewayangan, dimana Batarakala lahir dari hubungan Batara Guru dan Selir. Batarakala kemudian tumbuh menjadi orang yang jahat akibat Batara Guru yang tidak bisa menahan nafsunya. 


   Batarakala yang jahat meminta agar ia bisa memakan manusia kepada Batara Guru, dan Batara Guru mengizinkannya, asalkan Batarakala hanya mengincar Wong Sukerta atau orang sial, misalnya anak tunggal.


Tentu Upacara Ruwatan terdiri dari beberapa tahap, termasuk dengan: 

● Siraman 

● Mengadakan sesajen

● Pemotongan rambut, 

● dan Tirakat.



Sumber: 

Kompas.com 

traveloka.com


Tradisi Sadranan

   



   Tiap-tiap menjelang bulan Ramadhaan, tepatnya pada bulan Sya’ban, masyarakat suku Jawa khususnya di daerah Jawa Tengah dan kota Yogyakarta, selalu melakukan tradisi nyadran. 


Budaya yang telah dilestarikan selama ratusan tahun ini, dilakukan dengan cara membersihkan makam para orang tua dan leluhur, membuat sekaligus membagikan makanan tradisional, serta berdoa atas selamatan bersama di sekitar area makam.


   Di dalam kalender Jawa, bulan Ramadhan disebut sebagai bulan Ruwah, sehingga nyadran juga dikenal sebagai acara ruwah. Dirangkum dari berbagai sumber, tradisi ini merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dengan budaya Islam. Kata nyadran berasal dari kata Sraddha yang memiliki makna keyakinan.


   Masing-masing daerah di tanah Jawa memiliki ciri khasnya masing-masing dalam tradisi sadranan ini. Masyarakat di beberapa daerah membersihkan makam sekaligus membawa bungkusan yang berisi makanan dari hasil bumi yang disebut sebagai sadranan.


 Secara tradisi, sadranan yang telah dibawa akan ditinggalkan di area pemakaman. Umumnya, masyarakat juga akan meninggalkan uang tambahan untuk biaya pengelolaan makam.



Sumber:

Gramedia.com 

Tirto.id

Upacara Memelihara Tembuni

  


 Merawat tembuni atau usai persalinan agar bayi selamat serta berbahagia. Tembuni sendiri berarti plasenta bayi atau biasa juga disebut dengan ari-ari.


   Menurut kepercayaan masyarakat Sunda, tembuni merupakan saudara bayi sehingga tak boleh dibuang secara sembarangan dan harus dilakukan melalui ritual khusus saat mengubur atau Ketika menghanyutkannya.


   Bersamaan dengan kelahiran bayi, tembuni kemudian dibersihkan serta diletakan ke dalam pendil atau kendi untuk kemudian diberi bumbu-bumbu yakni garam, asam, serta gula merah. Terakhir, pendil ditutup dengan kain putih serta diberi bambu kecil agar kemudian tetap menerima udara.


   Paraji (dukun bersalin) kemudian akan menggendong serta memayungi pendil hingga dikuburkan di area halaman rumah atau dihanyutkan ke sungai secara adat. Upacara penguburan tembuni ini sendiri disertai pembacaan doa untuk memohon keselamatan.


Sumber: 

Gramedia.com 


Upacara Obor Pattimura



   Upacara Obor Pattimura merupakan tradisi tahunan yang diadakan di Saparua, Maluku, untuk memperingati perjuangan Kapitan Pattimura melawan penjajah Belanda. Upacara ini dimulai dengan pengambilan api di gua tempat Pattimura bersembunyi dan diakhiri dengan penyalaan obor di puncak Gunung Sirimau


   Biasanya, upacara diperingati setiap tanggal 15 Mei dengan pawai obor. Dalam prosesi acara kerja sama antara masyarakat dan pemerintah setempat ini, ada kegiatan lari obor. Lari obor dimulai dari Pulau Saparua ke Pulau Ambon, kemudian pelari akan diarak ke Kota Ambon



   Upacara Obor Pattimura memiliki makna penting bagi masyarakat Maluku. Api obor melambangkan semangat perjuangan Pattimura yang tak pernah padam dan terus menginspirasi generasi muda untuk melanjutkan perjuangannya. Upacara ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat Maluku untuk tetap bersatu dan menjaga nilai-nilai budaya warisan leluhur.


   Di era modern, semangat Pattimura masih relevan dan perlu ditanamkan dalam diri generasi muda. Semangat Pattimura yang pantang menyerah, berani melawan penindasan, dan cinta tanah air dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk berkontribusi dalam membangun bangsa.


   Beberapa cara untuk menjaga semangat Pattimura di era modern antata lain Mempelajari sejarah perjuangan Pattimura sebaga generasi muda perlu mempelajari sejarah perjuangan Pattimura agar dapat memahami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.


   Mengikuti Upacara Obor Pattimura Upacara Obor Pattimura dapat menjadi momen untuk merenungkan kembali semangat perjuangan Pattimura dan membangkitkan semangat nasionalisme di dalam diri. Meneladani nilai-nilai perjuangan Pattimura sebaga generasi muda dapat meneladani nilai-nilai perjuangan Pattimura dalam kehidupan sehari-hari, seperti semangat belajar, pantang menyerah, dan cinta tanah air.


Sumber: 

Kompas.com

kompasiana.com 

Upacara Tanam Sasi

 


   Upacara adat tanam sasi adalah upacara adat kematian yang berkembang di daerah Kabupaten Merauke dan dilaksanakan oleh suku Marind atau suku Marind-Anim. Suku Marind berada di wilayah dataran luas di Papua Barat.


   Kata anim dalam penamaan suku Marind Anim ini memiliki arti laki-laki dan kata anum artinya adalah perempuan. Jumlah penduduk dari suku ini diperkirakan sebanyak 5000 hingga 7000 jiwa


   Sasi adalah sejenis kayu yang menjadi media utama dalam rangkaian upacara adat kematian satu ini. Kayu sasi ditanam selama kurang lebih 40 hari setelah kematian seseorang di daerah tersebut. Kayu sasi kemudian akan dicabut, setelah mencapai hari ke-seribu ditanam.


   Makna yang tersimpan dalam upacara tanam sasi adalah sebagai berikut ini:

● Ukiran khas yang berasal dari Papua, melambangkan kehadiran dari para leluhur.

● Upacara tanam sasi adalah wujud dari tanda keadaan hati bagi masyarakat

● Papua, contohnya seperti menyatakan rasa sedih ketika ada seseorang yang meninggal.

● Sebagai sebuah simbol kepercayaan dari masyarakat dengan motif-motif khusus seperti hewan, manusia serta tumbuhan yang diukir di atas kayu.

● Sebagai simbol dari keindahan dalam bentuk mahakarya maupun karya seni yang dibuat oleh masyarakat Papua dan mewakili kenangan-kenangan dari nenek moyang.




  Pada proses upacara Tanam Sasi, masyarakat akan menampilkan tarian tradisional yang disebut dengan Tari Gatsi. Tari Gatsi adalah salah satu tarian khas dari Suku Marind. Tari Gatsi ini dipentaskan hanya ketika upacara adat Tanam Sasi berlangsung dan festival tusu telinga, hal ini karena Tari Gatsi memiliki makna khusus yaitu agar masyarakat dari Suku Marind senantiasa mematuhi adat budaya yang ada di masyarakat dan turut melestarikan tradisi dari masyarakat Suku Marind.


Sumber: 

Gramedia.com

theAsianparent


Upacara Peusijuek

 


   Peusijuek adalah sebuah prosesi adat dalam budaya masyarakat Aceh yang masih dipraktikkan hingga saat ini. Tradisi peusijuek ini dilakukan pada hampir semua kegiatan adat dalam kehidupan masyarakat di Aceh. 


   Misalnya ketika memulai sebuah usaha, menyelesaikan persengketaan, terlepas atau selesai dari musibah, menempati rumah baru, merayakan kelulusan, memberangkatkan dan menyambut kedatangan haji, kembalinya keluarga dari perantauan dan masih banyak lagi.


   Saat prosesi peusijuk digelar, orang yang dipercaya untuk mempeusijuek orang lain terlebih dahulu membaca Basmallah dan doa. Proses peusijuek kemudian diakhiri dengan makan nasi ketan bersama.


   Perlengkapan peusijuek, yaitu: dedaunan dan rerumputan yang melambangkan keharmonisan, keindahan, dan kerukunan. Bahan perlengkapan lainnya adalah beras dan padi yang melambangkan kesuburan, kemakmuran, dan kekuatan. Bahan yang terakhir adalah air dan tepung ketan, sebagai simbol persaudaraan dan ketenangan.


Sumber: 

Wikipedia

Kompas.com

Upacara Metatah



   Metatah adalah upacara potong gigi yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali. Biasanya juga disebut juga tradisi mepandes atau mesagih. Ritual keagamaan yang harus dilaksanakan oleh semua umat Hindu di Bali,  khususnya bagi yang telah menginjak masa remaja.


   Tujuan upacara metatah adalah membersihkan kaletehan gigi, keangkara murkaan, keserakahan (Sad Ripu) dari seseorang dan sebagai simbolnya akan dipotong 6 buah gigi atas yaitu 4 buah gigi seri dan 2 buah gigi taring sebagai symbol pengendalian enam musuh dalam diri manusia yang disebut Sad Ripu.


   Bagi umat Hindu, upacara metatah memiliki makna yang dalam bagi kehidupan, Makna tersebut di antaranya sebagai berikut: 

1. Menandai beralihnya manusia menjadi manusia sejati yang dapat mengendalikan diri dari godaan nafsu.

2. Memenuhi kewajiban orang tua terhadap anaknya agar menemukan hakekat manusia yang sejati.

3. Agar orang tua dan anak dapat bertemu kembali di surga setelah meninggal.


   Untuk melaksanakan upacara metatah, ada banyak sarana yang harus disiapkan sebagai keperluan seluruh prosesi upacara, di antaranya:

1. Sesajen

2. Bale-bale lengkap dengan dipan yang baru          dibuat (sukla) disertai dengan bantal, kasur,        seprai atau tikar yang berisi gambar Sang            Hyang Semara dan Sang Hyang Ratih

3. Kelapa kuning yang dilubangi dan airnya            dibuang yang nantinya digunakan untuk              membuang air liur peserta metatah

4. Sebuah bokor yang berisi perlengkapan                untuk mengikir gigi seperti cermin, pahat,            dan daun sirih

5. Beberapa potong kain putih kuning yang              digunakan untuk menutupi badan peserta          metatah saat potong gigi berlangsung.


   Tahapan Metatah:

1. Mengagumi pandangan

2. Ngekeb

3. Mabyakala

4. Sembahyang ke Merajan

5. Nrgajah/Ngendag

6. Upacara metatah/mepandes

7. Mandi

8. Mejaya-jaya



sumber: 

detik.com

Kompas.com

Upacara Tedhak Siten

 


  Tedhak siten atau tedak siten berasal dari kata 'tedhak' yang berarti menapakkan kaki dan 'siti' yang berarti bumi atau tanah. Jika digabung, tedak siten berarti upacara menapakkan kaki ke tanah untuk pertama kalinya.


  Upacara tedhak siten dilakukan ketika bayi sudah berusia tujuh lapan dalam kalender Jawa. Satu lapan sama dengan 35 hari, sehingga 7 lapan sama dengan 245 hari atau sekitar 8 bulan dalam kalender Masehi. Usia ini merupakan masa ketika bayi mulai belajar duduk dan berjalan di tanah.


  Tujuan dari tedhak siten yaitu memiliki harapan agar kelak si bayi tidak mudah menyerah dalam meraih cita-citanya.


  Berikut ini adalah langkah-langkah untuk pelaksanaan upacara tedhak siten:

1. Menginjak jadah tujuh warna

2. Naik dan turun tangga dari tebu wulung

3. Ceker-ceker untuk berjalan di atas onggokan       pasir 

4. Masuk ke dalam kurungan Menyebar undhik-     undhik atau uang

5. Dibersihkan dengan air siraman

6. Didandani dengan pakaian yang bersih.


Adapun tujuh perlengkapan yang dibutuhkan, antara lain:

1. Jadah (tetel) tujuh warna

2. Jenang bluwok

3. Nasi tumpeng dan ingkung pithik atau ayam      kampung utuh

4. Jajanan pasar

5. Tangga atau ondho

6. Kurungan ayam

7. Kembang setaman


sumber: 

kompas.com

wikipedia


Minggu, 12 Januari 2025

Upacara Ngaben

 


Upacara Ngaben merupakan upacara pembakaran jenazah di Bali yang dipercaya oleh umat Hindu. Upacara tersebut juga dapat disebut dengan Kremasi. Istilah ini mengacu kepada membakar seseorang yang sudah meninggal hingga menjadi abu. Abu dari orang yang sudah meninggal ini biasanya akan dibuang ke laut. Selain itu, ada juga kemungkinan abu diletakkan ke dalam guci kecil dan disimpan oleh orang terdekatnya.

Meskipun begitu, kremasi bukanlah sesuatu yang umum ditemukan pada masyarakat Indonesia. Mayoritas orang-orang di Indonesia lebih memilih mengubur orang yang sudah meninggal ke dalam tanah dibandingkan dengan membakar mayat tersebut sampai menjadi abu. 

Dan perlu diketahui juga bahwa Upacara Ngaben sendiri memiliki beberapa jenis berbeda. Perbedaan ini dilandasi dari beberapa hal, mulai dari usia orang yang meninggal atau situasi orang yang sudah meninggal. Perbedaan-perbedaan ini nantinya akan mempengaruhi tata cara Upacara Ngaben. Setidaknya ada 5 jenis upacara ngaben yaitu, Ngaben Sawa Wedana, Ngaben Asti Wedana, Swasta, Ngelungah, Warak Kruron. 


Upacara Padusan

     Upacara Padusan berasal dari kebiasaan Walisongo yang menyatukan budaya Hindu dengan budaya Islam. Padusan berasal dari kata adus, baha...